Abad Pembaharuan Karoling
Istana Karel Agung di Aachen menjadi pusat kebangkitan budaya yang adakalanya disebut "Abad Pembaharuan Karoling". Angka melek aksara meningkat, seiring berkembangnya seni rupa, arsitektur, dan tatanan hukum, demikian pula dengan kajian-kajian mengenai liturgi dan kitab suci. Alcuin (wafat 804), rahib Inggris yang diundang ke Aachen, datang membawa pendidikan ala biara-biara Northumbria. Cancellaria, yakni jawatan setia usaha atau kepaniteraan pada masa pemerintahan Karel Agung, menggunakan ragam aksara baru yang kini disebut ragam huruf kecil Karoling.[L] Kebijakan kepaniteraan Karel Agung ini telah memunculkan suatu ragam tulis umum yang mendorong kemajuan komunikasi di hampir seluruh Benua Eropa. Karel Agung mendukung perubahan-perubahan dalam liturgi Gereja, serta mewajibkan penerapan tata ibadat Gereja Roma dan penggunaan kidung Gregorian sebagai musik liturgi Gereja di wilayah kedaulatannya. Salah satu kegiatan utama para cendekiawan kala itu adalah menyalin, memperbaiki, dan menyebarluaskan karya-karya tulis lama, baik karya tulis keagamaan maupun karya tulis sekuler, demi kemajuan pendidikan. Mereka juga menghasilkan sejumlah karya tulis keagamaan dan buku-buku pelajaran yang baru.[107] Para ahli bahasa kala itu mengubah suai bahasa Latin dari ragam klasik warisan Kekaisaran Romawi menjadi ragam yang lebih luwes agar selaras dengan kebutuhan Gereja dan pemerintah. Pada masa pemerintahan Karel Agung, bahasa Latin yang digunakan sudah sangat menyimpang dari ragam klasiknya sehingga kemudian hari disebut bahasa Latin Abad Pertengahan.[108]
Perkembangan teknologi dan militer
Salah satu perkembangan besar di bidang militer pada Akhir Abad Pertengahan adalah meningkatnya pengerahan pasukan pejalan kaki dan pasukan aswasada berperlengkapan ringan.[312] Orang-orang Inggris juga mengerahkan pasukan pemanah bersenjata busur panjang, tetapi negeri-negeri lain tidak mampu membentuk pasukan serupa dengan tingkat keberhasilan yang sama.[313] Baju zirah terus-menerus dikembangkan, dipacu oleh peningkatan daya hujam anak panah yang dilesatkan dengan busur silang, sehingga akhirnya menghasilkan zirah lempeng yang berguna melindungi para prajurit dari tembakan busur silang maupun senjata api genggam yang kala itu sudah diciptakan.[314] Senjata-senjata galah kembali menjadi senjata andalan dengan dibentuknya pasukan-pasukan pejalan kaki Flandria dan Swiss yang dipersenjatai dengan tembiang dan tombak-tombak bergagang panjang lainnya.[315]
Di bidang tani-ternak, meningkatnya budi daya domba berbulu panjang memungkinkan dihasilkannya pintalan benang wol yang lebih alot. Selain itu, penggunaan rahat sebagai pengganti luli dan gelendong untuk mengantih membuat hasil pintalan benang wol meningkat hingga tiga kali lipat.[316][AH] Salah satu wujud penyempurnaan ciptaan manusia yang kurang berkaitan dengan teknologi tetapi besar dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari adalah penggunaan kancing untuk merapatkan pakaian. Dengan menggunakan kancing, orang tidak perlu lagi merapatkan pakaian pada tubuh si pemakai dengan cara mengencangkan tali yang diloloskan melalui lubang-lubang tali atau kaitan yang terpasang pada pakaian (serupa dengan cara mengencangkan dan mengikat tali sepatu).[318] Kincir angin disempurnakan menjadi kincir menara. Bagian puncak dari kincir menara ini dapat diputar, sehingga kitiran yang terpasang pada bagian puncak itu dapat diatur menghadap hembusan angin dari arah manapun datangnya.[319] Penggunaan tanur embus, yang muncul sekitar tahun 1350 di Swedia, meningkatkan jumlah dan mutu besi yang dihasilkan dari kegiatan peleburan bijih besi.[320] Hukum paten pertama kali diundangkan pada 1447 di Venesia untuk melindungi hak-hak para pereka cipta atas barang-barang ciptaan mereka.[321]
Awal Abad Pertengahan
Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan-pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai “invasi”, pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran.
Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi. Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau sama sekali tidak berdarah Romawi.
Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah oleh kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Perkawinan campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi. Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.
Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi. Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan kepada tradisi-tradisi intelektual Romawi.
Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan. Saat itu, perang menjadi sesuatu yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.
Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan.
Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin, tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad.
Bahasa Yunani di sisi lain masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantin, tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.
Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan.
Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Hubungan negara dan Gereja juga menjadi semakin akrab di Kekaisaran Romawi Timur, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.
Mosaik yang menampilkan gambar Kaisar Yustinianus bersama Uskup Ravena, para pengawal, dan para bentara.
Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis). Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sophia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565) untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.
Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.
Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Bizantin telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Bizantin menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim.
Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.
Penyusupan orang Slav di wilayah timur Kekaisaran Romawi secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung era 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551.
Pada era 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kekuasan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.
Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang.
Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Bizantin, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Bizantin berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.
Dunia usaha dan ekonomi
Migrasi dan invasi pada abad ke-4 dan abad ke-5 mengganggu jaringan niaga di sekeliling Laut Tengah. Barang-barang dagangan dari Afrika, yang tak lagi memasuki Eropa, mula-mula menghilang dari pasaran di kawasan pedalaman Eropa, dan pada abad ke-7 hanya dapat dijumpai di segelintir kota seperti Roma atau Napoli. Pada penghujung abad ke-7, sebagai akibat dari aksi-aksi penaklukan kaum Muslim, barang-barang dagangan dari Afrika tidak dapat lagi dijumpai di Eropa Barat. Penggantian barang-barang dagangan dari negeri-negeri seberang dengan barang-barang buatan negeri sendiri menjadi lazim terjadi di seluruh negeri bekas jajahan Romawi pada Awal Abad Pertengahan, terutama di negeri-negeri yang tidak terletak di pesisir Laut Tengah, misalnya kawasan utara Galia atau Britania. Barang-barang buatan luar negeri yang disebut-sebut dalam peninggalan-peninggalan tertulis biasanya adalah barang-barang mewah. Di kawasan utara benua Eropa, tidak saja jaringan niaganya yang bersifat lokal, malah barang-barang yang diperjualbelikan pun sederhana, hanya ada sedikit tembikar atau barang-barang lain yang rumit pembuatannya. Di kawasan pesisir Laut Tengah, tembikar masih mudah didapatkan dan tampaknya diperjualbelikan dalam jaringan-jaringan niaga taraf menengah, tidak sekadar dibuat sendiri di dalam negeri.[83]
Semua negara Jermanik di Eropa Barat mengeluarkan uang logam sendiri dengan meniru bentuk uang-uang logam Romawi dan Romawi Timur yang beredar kala itu. Uang emas terus-menerus dicetak sampai akhirnya tergantikan oleh uang-uang perak pada penghujung abad ke-7. Satuan dasar uang perak Franka adalah Denarius atau Denier, sementara satuan dasar uang perak Saksen-Inggris yang setara Denier disebut Penny. Dari wilayah-wilayah inilah Denier atau Penny beredar ke seluruh Eropa selama berabad-abad, sejak 700 sampai 1000 Masehi. Uang tembaga dan perunggu tidak dicetak, demikian pula uang emas, kecuali di kawasan selatan Eropa. Tidak ada pencetakan uang perak dalam pecahan-pecahan yang lebih besar daripada Denier atau Penny.[84]
Agama Kristen adalah faktor utama yang mempersatukan Eropa Timur dan Eropa Barat sebelum penaklukan-penaklukan yang dilakukan orang Arab, tetapi penaklukan Afrika Utara meretas hubungan yang terjalin antara kedua kawasan itu. Gereja Romawi Timur semakin lama semakin berbeda dari Gereja Barat dalam bidang bahasa, adat istiadat, maupun liturgi. Gereja Timur menggunakan bahasa Yunani, bukan bahasa Latin seperti Gereja Barat. Perbedaan-perbedaan teologi dan politik pun mengemuka, dan pada permulaan serta pertengahan abad ke-8, perkara-perkara seperti ikonoklasme, rohaniwan beristri, dan kendali negara atas Gereja semakin memperlebar kesenjangan sehingga pada akhirnya perbedaan-perbedaan budaya dan keagamaan menjadi jauh lebih besar daripada persamaan-persamaannya.[85] Perpecahan resmi, yang disebut Skisma Timur-Barat, terjadi pada 1054, manakala lembaga kepausan dan kebatrikan Konstantinopel mempertentangkan supremasi Sri Paus dan akhirnya saling mengucilkan, sehingga memecah agama Kristen menjadi dua Gereja—pecahan barat menjadi Gereja Katolik Roma dan pecahan timur menjadi Gereja Ortodoks Timur.[86]
Tatanan kepengurusan Gereja di Kekaisaran Romawi nyaris tetap utuh di tengah-tengah pergerakan dan invasi yang melanda wilayah barat, akan tetapi lembaga kepausan tidak begitu dihargai, dan hanya segelintir uskup di wilayah barat yang menghormati Uskup Roma selaku pemimpin agama atau pemimpin politik. Banyak di antara para paus yang menjabat sebelum tahun 750 lebih memperhatikan urusan-urusan Kekaisaran Romawi Timur dan sengketa-sengketa teologi di wilayah timur. Register, atau arsip salinan surat-surat, yang ditulis oleh Paus Gregorius Agung (masa kepausan 590–604) masih lestari hingga sekarang, lebih dari 850 pucuk surat, sebagian besar di antaranya berkaitan dengan perkara-perkara di Italia atau Konstantinopel. Satu-satunya negeri di Eropa Barat yang tunduk pada wibawa lembaga kepausan adalah Britania, yakni negeri yang didatangi rombongan misionaris utusan Paus Gregorius pada 597 untuk mengajak orang-orang Saksen-Inggris memeluk agama Kristen.[87] Para misionaris Irlandia gencar berdakwah di Eropa Barat antara abad ke-5 dan abad ke-7, pertama-tama di Inggris dan Skotlandia, kemudian ke daratan Eropa. Di bawah pimpinan rahib-rahib seperti Kolumba (wafat 597) dan Kolumbanus (wafat 615), para misionaris Irlandia membangun biara-biara, mengajar dalam bahasa Latin dan bahasa Yunani, serta menghasilkan karya-karya tulis sekuler maupun keagamaan.[88]
Pada Awal Abad Pertengahan, terjadi pertumbuhan monastisisme di Eropa Barat. Bentuk monastisisme dipengaruhi oleh tradisi-tradisi dan gagasan-gagasan yang berasal dari Bapa-Bapa Gurun di Mesir dan Suriah. Sebagian besar biara Eropa adalah jenis biara yang mengutamakan pendalaman rohani dalam kehidupan berguyub. Monastisisme semacam ini disebut senobitisme, dirintis oleh Pakomius (wafat 348) pada abad ke-4. Cita-cita mulia monastisisme menyebar dari Mesir ke Eropa Barat pada abad ke-5 dan abad ke-6 melalui sastra hagiografi semisal Riwayat Antonius (bahasa Latin: Vita Antonii).[89] Benediktus dari Nursia (wafat 547) menyusun Peraturan Benediktus (bahasa Latin: Regulae Benedicti) bagi monastisisme Gereja Barat pada abad ke-6. Peraturan ini berisi perincian kewajiban administratif dan rohani yang harus dilaksanakan oleh suatu paguyuban para rahib yang dipimpin oleh seorang abas.[90] Para rahib dan biara-biara sangat mempengaruhi kehidupan beragama dan perpolitikan pada Awal Abad Pertengahan. Biara-biara sering kali menjadi lembaga-lembaga perwalian pemilik tanah bagi keluarga-keluarga yang memiliki kekuasaan besar, menjadi pusat-pusat propaganda dan dukungan bagi kerajaan di wilayah yang baru direbut, dan menjadi pangkalan-pangkalan bagi misi dakwah dan penyebaran agama Kristen.[91] Biara-biara merupakan lembaga utama, bahkan adakalanya merupakan satu-satunya lembaga, yang menyelenggarakan pendidikan dan pemberantasan buta aksara di suatu kawasan. Banyak dari naskah Latin klasik yang sintas sampai sekarang adalah naskah-naskah salinan yang dibuat di biara-biara pada Awal Abad Pertengahan.[92] Para rahib juga menghasilkan karya-karya tulis baru di bidang sejarah, teologi, dan bidang-bidang lain, misalnya Beda (wafat 735), pujangga asal kawasan utara Inggris yang berkarya pada penghujung abad ke-7 dan permulaan abad ke-8.[93]
Awal Abad Pertengahan
Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan-pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai “invasi”, pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran.
Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi. Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau sama sekali tidak berdarah Romawi.
Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah oleh kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Perkawinan campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi. Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.
Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi. Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan kepada tradisi-tradisi intelektual Romawi.
Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan. Saat itu, perang menjadi sesuatu yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.
Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan.
Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin, tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad.
Bahasa Yunani di sisi lain masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantin, tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.
Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan.
Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Hubungan negara dan Gereja juga menjadi semakin akrab di Kekaisaran Romawi Timur, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.
Mosaik yang menampilkan gambar Kaisar Yustinianus bersama Uskup Ravena, para pengawal, dan para bentara.
Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis). Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sophia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565) untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.
Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.
Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Bizantin telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Bizantin menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim.
Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.
Penyusupan orang Slav di wilayah timur Kekaisaran Romawi secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung era 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551.
Pada era 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kekuasan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.
Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang.
Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Bizantin, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Bizantin berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.
Masyarakat-masyarakat baru
Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai "invasi", pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran. Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi.[41] Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau orang-orang yang sama sekali tidak berdarah Romawi. Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Kawin campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dengan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi.[42] Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.[43] Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi.[44] Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan pada tradisi-tradisi intelektual Romawi.[45] Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan.[46] Perang menjadi hal yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.[47][F]
Antara abad ke-5 dan abad ke-8, suku-suku bangsa dan tokoh-tokoh baru mengisi kekosongan politik selepas tumbangnya pemerintahan terpusat bangsa Romawi.[45] Orang Ostrogoth, salah satu suku Goth, menetap di Italia Romawi pada penghujung abad ke-5, di bawah pimpinan Teodorik Agung (wafat 526). Orang Ostrogoth mendirikan sebuah kerajaan di daerah itu dan hidup rukun bersama orang-orang Italia, setidaknya sampai masa pemerintahan Teodorik berakhir.[49] Orang-orang Burgundi menetap di Galia, dan setelah kerajaannya dibinasakan oleh orang Hun pada 436, mereka mendirikan sebuah kerajaan baru pada dasawarsa 440-an. Kerajaan di daerah yang kini berada di antara kota Jenewa dan kota Lyon ini berkembang menjadi Kerajaan Burgundia pada penghujung abad ke-5 dan permulaan abad ke-6.[50] Daerah-daerah lain di Galia diduduki oleh orang Franka dan orang Briton Kelt yang mendirikan kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan Franka berpusat di kawasan utara Galia, dan raja pertamanya diketahui bernama Kilderik (wafat 481). Di makam Kilderik yang ditemukan kembali pada 1653, didapati barang-barang bekal kubur yang menakjubkan, yakni senjata-senjata dan sejumlah besar emas.[51]
Pada masa pemerintahan putra Kilderik, Klovis I (memerintah 509–511), pendiri wangsa Meroving, Kerajaan Franka meluaskan wilayahnya dan menerima agama Kristen. Orang Briton, yang masih berkerabat dengan pribumi Pulau Pretanī (bahasa Latin: Britannia) – Pulau Britania Raya sekarang ini – menetap di daerah yang sekarang disebut Bretagne.[52][G] Orang Visigoth mendirikan kerajaan di Jazirah Iberia, orang Suevi mendirikan kerajaan di kawasan barat laut Iberia, dan orang Vandal mendirikan kerajaan di Afrika Utara.[50] Pada abad ke-6, orang Lombardi menetap di Italia Utara, menggantikan Kerajaan Ostrogoth dengan sekelompok kadipaten yang sesekali memilih seorang raja untuk memerintah semuanya. Pada akhir abad ke-6, tatanan pemerintahan ini tergantikan oleh sebuah monarki yang bersifat tetap, yakni Kerajaan Orang Lombardi.[53]
Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan. Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad. Bahasa Yunani masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Romawi Timur, akan tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.[54]
Puncak Abad Pertengahan
Kehancuran kerajaan Charlemagne
Charlemagne meninggal dunia pada tahun 814, sejak saat itu kerajaannya tidak bertahan lama. Seluruh kekuatan pemerintahannya mulai memudar.
Tradisi kaum Franka adalah membagi kekuasaan secara merata di antara ahli waris laki-laki. Namun, putra sah Charlemagne yang masih hidup kala itu adalah Louis the Pious.
Ketika ia meninggal pada tahun 840 M, kekaisaran dibagi kepada tiga putra Louis dan kerajaan terus terpecah hingga keturunannya yakni Charles III pada tahun 887 M. Pada saat itu, sebagian besar kekuasaan Charlemagne mulai hilang.
Hingga disebut setelah satu abad setelah kematian Charlemagne, kerajaannya sudah musnah dan tidak ada lagi.
Terminologi dan Periodisasi
Abad Pertengahan adalah salah satu dari tiga kurun waktu utama dalam skema terlama yang digunakan dalam kajian Sejarah Eropa, yakni Zaman Klasik atau Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern.
Para pujangga Abad Pertengahan membagi sejarah menjadi sejumlah kurun waktu, misalnya “Enam Zaman” atau “Empat Kekaisaran”, dan menganggap zaman hidup mereka sebagai zaman akhir menjelang kiamat. Apabila mengulas zaman hidup mereka, zaman itu akan mereka sebut sebagai “zaman modern”. Pada era 1330-an, humanis sekaligus penyair Italia, Petrarka, menyebut kurun waktu pra-Kristen sebagai zaman antiqua (kuno) dan kurun waktu Kristen sebagai sebagai zaman nova (baru).
Leonardo Bruni adalah sejarawan pertama yang menggunakan periodisasi tripartitus (tiga serangkai) dalam karya tulisnya, Sejarah Orang Firenze (1442). Dia dan para sejarawan sesudahnya berpendapat bahwa Italia telah banyak berubah semenjak masa hidup Petrarka, dan karenanya menambahkan kurun waktu ketiga pada dua kurun waktu yang telah ditetapkan oleh Petrarka.
Istilah “Abad Pertengahan” pertama kali muncul dalam bahasa Latin pada 1469 sebagai media tempestas (masa pertengahan). Mula-mula ada banyak variasi dalam pemakaian istilah ini, antara lain, medium aevum (abad pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1604, dan media saecula (zaman pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1625. Istilah “Abad Pertengahan” adalah terjemahan dari frasa medium aevum. Periodisasi tripartitus menjadi periodisasi standar setelah sejarawan Jerman abad ke-17, Christoph Keller, membagi sejarah menjadi tiga kurun waktu: Kuno, Pertengahan, dan Modern.
Tarikh yang paling umum digunakan sebagai permulaan Abad Pertengahan adalah tarikh 476 M, yang pertama kali digunakan oleh Leonardo Bruni. Bagi Eropa secara keseluruhan, tarikh 1500 M sering kali dijadikan tarikh penutup Abad Pertengahan, tetapi tidak ada kesepakatan sejagat mengenai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tergantung kepada konteksnya, tarikh peristiwa-peristiwa penting seperti tarikh pelayaran perdana Kristoforus Kolumbus ke Benua Amerika (1492), tarikh penaklukan Konstantinopel oleh orang Turki (1453), atau tarikh Reformasi Protestan (1517), kadang-kadang pula digunakan.
Para sejarawan Inggris sering kali menggunakan tarikh Pertempuran Bosworth (1485) sebagai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tarikh-tarikh yang umum digunakan di Spanyol adalah tarikh kemangkatan Raja Fernando II (1516), tarikh kemangkatan Ratu Isabel I (1504), atau tarikh penaklukan Granada (1492).
Para sejarawan dari negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi cenderung membagi Abad Pertengahan menjadi dua kurun waktu, yakni kurun waktu “Tinggi” sebagai kurun waktu yang “terdahulu”, dan kurun waktu “Rendah” sebagai kurun waktu yang “terkemudian”.
Para sejarawan penutur bahasa Inggris, mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jerman, umumnya membagi Abad Pertengahan menjadi tiga kurun waktu, yakni kurun waktu “Awal”, kurun waktu “Puncak”, dan kurun waktu “Akhir”. Pada abad ke-19, seluruh Abad Pertengahan kerap dijuluki “Abad Kegelapan”, tetapi semenjak Abad Pertengahan dibagi menjadi tiga kurun waktu, pemakaian istilah ini pun dibatasi untuk kurun waktu Awal Abad Pertengahan saja, setidaknya di kalangan sejarawan.